My Clock

Kamis, 24 Februari 2011

AKHIRNYA CINTAKU BERLABUH KARENA ALLAH [ADHIT]

Awalnya, aku bertemu dengannya di sebuah acara yang diselenggarakan di rumah ku sendiri. Gadis itu sangat berbeda dengan cewek-cewek yang lain. Yang sibuk berbicara dengan laki-laki dan berpasang-pasangan. Sedangkan dia dengan pakaian muslimah rapi yang dikenakannya membantu mamaku menyiapkan hidangan dan segala kebutuhan dalam acara tersebut. Sesekali gadis itu bermain di taman bersama anak-anak kecil yang lucu, kulihat betapa lembutnya dia dengan senyuman manis kepada anak-anak.
Dari sikap itu aku tertarik untuk mengenalnya. Akhirnya dengan PD-nya kuberanikan diri untuk mendekatinya dan hendak berkenalan dengannya. Namun, kenyataannya dia menolak bersalaman denganku, dan cuma mengatakan “Maaf…” dan berlalu begitu saja meninggalkanku.
Betapa malunya aku terhadap teman-teman yang berada di sekitarku. “Ini cewek kok jual mahal banget! Padahal begitu banyak cewek yang justru berlomba-lomba mau jadi pacarku. Dia, mau kenalan saja tidak mau!” ujarku.
Dari kejadian itu aku menjadi penasaran dengan gadis tersebut. Lalu aku mencari tahu tentangnya. Ternyata dia anak tunggal sahabat rekan bisnis papa. Setiap ada pertemuan di rumah gadis itu, aku selalu ikut bersama papa.
Gadis itu bernama Nina, kulian di Fakultas Kedokteran dan dia anak yang tidak suka berpesta, berfoya-foya, dan keluyuran seperti cewek kebanyakan di kalangan kami. Aku pun jarang melihatnya jika aku pergi kerumahnya; dengan berbagai alasan yang ku dengar dari pembantunya: sakitlah, lagi mengerjakan tugas, atau kecapekan. Pokoknya, dia tidak pernah mau keluar.
Hingga suatu hari aku dan papa sedang bertamu ke rumahnya. Pada saat itu, Nina baru saja pulang dengan busana muslimahnya yang rapi, terlihat turun dari mobil, namun belum jauh melangkah dia pun terjatuh pingsan dan mukanya terlihat sangat pucat. Kami yang berada di ruang tamu bergegas keluar dan papanya pun menggendong ke kamar serta meminta tolong kami untuk menghubungi dokter. Dari hasil pemeriksaan dokter, Nina harus dirawat di rumah sakit.
Keesokan harinya, aku datang ke rumah sakit bermaksud untuk menjenguknya. Betapa kagetnya aku ketika kutahu Nina terkena Leukimia (kanker darah). Aku bertanya, “Kenapa gadis selembut dan sesopan dia harus mengalami hal itu?”
Perasaan kesalku padanya kini berubah menjadi kasihan dan khawatir. Setiap usai kuliah, kusempatkan untuk datang menjenguknya. Aku mendapatinya sering menangis sendirian. Entah itu karena tidak ada yang menjaganya atau karena penyakit yang diderita.
Beberapa kali di rumah sakit, Nina memintaku keluar setiap kali aku masuk. Aku pun mendatanginya di rumah. Tapi dia tidak pernah mau keluar menemuiku dan hanya mengurung di dalam kamar. Aku pun tidak menyerah begitu saja, kucoba menelpon Nina dan berharap dia mau bicara denganku. Namun, dia tetap tidak mau mengangkat telpon dariku. Lalu kukirim SMS padanya agar dia mau menjadi pacarku, tetapi tidak ada balasan malah HP-nya dinonaktifkan semalaman.
Keesokan harinya, aku nekat datang ke rumahnya untuk meminta maaf atas kelancanganku. Ternyata ia akan berangkat ke Makasar, ke kampung orang tuanya. Karena orang tuanya tidak dapat mengantarnya, aku pun menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi Nina lebih memilih naik taksi dengan alasan tidak mau merepotkan orang lain. Sebelum naik ke mobil, dia menitipkan kertas untukku pada mamanya.
Alangkah hancur hatiku ketika membaca sebait kalimat yang berbunyi, “Maaf saat ini aku hanya ingin berkonsentrasi kuliah.” Hatiku remuk dan aku pulang dengan perasaan kesal sekali. Ini pertama kalinya aku ingin pacaran, tapi ditolak. Sebenarnya, aku tidak suka hubungan seperti pacaran itu karena begitu banyak dampak negatifnya, sampai ada yang rela bunuh diri karena ditinggalkan kekasihnya –naudzubillahi min dzalik.
Namun entah mengapa ketika aku meliha Nina hatiku pun tergoda untuk menjalin hubungan itu.
Sejak perpisahan itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sampai gelar sarjana aku raih. Lalu aku pun bekerja di perusahaan milik keluargaku sebagai satu-satunya ahli waris. Melihat ketekunanku dalam bekerja, papa Nina menyukaiku hingga hubungan kami menjadi akrab dan kuutarakan maksudku bahwa aku menyukai Nina, anaknya dan ternyata papa Nina setuju untuk menjadikanku sebagai menantunya.
24 Oktober 2006, bertepatan dengan hari raya idul Fitri, aku dan orangtuaku bersilaturrahmi ke rumah keluarga Nina dengan maksud untuk membicarakan perjodohan antara aku dan Nina. Tapi pada saat itu Nina baru di rawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina terlihat sangat pucat, lemah dan senyumannya seakan menghilang dari bibirnya. Hari itu orang tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena orang tuanya akan berangkat keluar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau meladeniku.
Suatu hari aku mendapati Nina terlihat kesakitan, terlihat darah keluar dari hidung dan mulutnya. Aku bermaksud untuk mengusap darah dan keringat yang ada di wajahnya, tetapi secara spontan dia menamparku pada saat aku menyentuh wajahnya. Betapa kaget diriku dibuatnya, aku tidak menyangka sama sekali Nina akan menamparku. Sungguh betapa istiqomahnya dia dalam menjaga kehormatan untuk tidak disentuh oleh laki-laki yang bukan muhrimnya. Saat itu aku belum mengetahui tentang masalah ini dalam agama.
Kejadian tersebut secara tidak sengaja terlihat mama Nina maka Nina pun dimarahi habis-habisan hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya. Kulihat Nina segera melepas infusnya dan berlari menuju kamar mandi. Nina pun mengurung diri di kamar mandi tersebut. Dengan terpaksa kami mendobrak pintu kamar mandi dan kami dapati Nina tergeletak di lantai tak sadarkan diri karena terlalu banyak darah yang keluar.
Setelah sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf kepadanya atas kejadian tadi, namun Nina terus-terusan menangis. Aku pun bertambah bingung, apa yang mesti aku lakukan untuk menenagkannya. Tanpa pikir panjang aku memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan keluar dari kamar menuju taman. Ketika kudekati Nina berteriak hingga menjadikan orang-orang memukuliku karena menyangka aku menggangu Nina. Karena itulah, Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina beranjak untuk melaksanakan sholat subuh di masjid, aku pun turut shalat. Namun setelah shalat, tiba-tiba Nina menghilang entah kemana. Aku mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama berselang kulihat banyak kerumunan orang dan ternyata Nina sudah tak sadarkan diri dengan HP berada disampingnya, sepertinya barusan dia telah berbicara dengan seseorang. Keadaan Nina saat itu sangat kritis sehingga pernafasannya harus dibantu dengan oksigen. Kata dokter, paru-paru Nina basah yang mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.
Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan bingung aku berdoa dengan menatap wajahnya yang pucat pasi…
Tiba-tiba ada sebuah SMS yang masuk ke HP Nina, tanpa sadar aku pun membaca dan membalas SMS tersebut. Aku juga membaca beberapa SMS yang masuk ke HP-nya dan aku sangat terharu dengan isinya, ternyata banyak sekali orang yang menyayanginya. Diantaranya adalah orang yang bernama Ukhti. Dulu sebelum aku mengetahui Ukhti adalah panggilan untuk saudara perempuan, aku sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira Ukhti itu adalah pacar Nina yang menjadi alasan dia menolakku.
Setelah Nina tersadar dari pingsannya,aku menunjukkan SMS yang dikirimkan saudari-saudarinya dan dia sangat marah ketika tahu aku membaca dan membalas SMS dari saudri-saudarinya. Dia pun akhirnya melarangku untuk memegang HP-nya apalagi mengangkat atau menghubungi saudari-saudarinya.
Namun, tetap saja aku sering ber-SMS-an dengan saudari-saudarinya untuk mengetahui kenapa sikap Nina begini dan begitu. Dari sinilah aku mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak mau bersentuhan apalagi berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina menolak untuk berpacaran serta bertunangan denganku kerena di dalam Islam tidak ada hal-hal seperti itu dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang non Muslim.
Aku tahu juga Nina mencari seorang ikhwan yang mencintainya karena Allah bukan atas dasar hawa nafsu. Akhirnya aku tahu akan sikap Nina semata-mata dia hanya ingin menjalankan syariat Islam secara benar.
Hari berlalu dan aku terus belajar sedikit demi sedikit tentang Islam dari Nina dan saudari-saudarinya, terutama dalam melakukan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Saat itu aku merasakan ketenangan dan ketentraman selama menjalankan dan menimbulkan perasaan rindu kepada Allah untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Niatku pun muncul untuk segera menikahi Nina agar tidak terjadi fitnah, namun kondisi Nina semakin memburuk. Dia selalu mengigau memanggil saudari-saudarinya yang dicintainya karena Allah…
Melihat hal itu, aku membawanya ke kota Makasar, kampung mama kandung Nina untuk mempertemukannya dengan saudari-saudarinya, Qadarullah (atas kehendak Allah), aku tidak berhasil mempertemukan mereka. Yang ada, kondisi Nina semakin parah dan penyakitku juga tiba-tiba kambuh sehingga aku pun juga harus dirawat di rumah sakit.
Orang tua Nina datang dan membawanya kembali ke Kota Makasar tanpa sepengetahuanku karena pada saat itu aku juga diopname. Di Makasar, Nina diawasi dengan ketat oleh papanya, karena papa Nina kurang suka dengan akhwat, apalagi yang bercadar.
Rumah sakit dan rumah yang ditempati Nina dirahasiakan. Dan Nina pun tak tahu dimanakah ia berada. Karena kondisinya masih lemah, Nina pun tak bisa berbuat apa-apa, bahkan ia kadang dibius, apalagi ketika akan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang satunya agar agar tidak tahu dimana keberadaannya, karena papanya tidak ingin ada akhwat yang menjenguk Nina. Sampai-sampai HP-nya pun diambil dari Nina. Namun, karena Nina masih mempunyai HP yang dia sembunyikan dari papanya, sehingga beberapa kali Nina berusaha kabur untuk menemui saudari-saudarinya, akhirnya Nina dikurung di dalam kamar.
Mendengar hal itu, aku langsung menyusul Nina ke Makasar dan aku sempat bicara denganya dibalik pintu. Nina menyuruhku untuk menemui seorang ustadz di sebuah masjid di kota itu. Dari pertemuanku dengan ustadz tersebut aku pun diajak ta’lim beberapa hari dan aku menginap di sana.
Papa Nina menyangka Nina telah mengusirku sehingga ia pun dimarahi. Setibanya di rumah, aku jelaskan duduk perkaranya kepada papa Nina, bahwa ia tidak bersalah dan aku mengatakan agar pernikahan kami dipercepat.
Hari Kamis, 24 November 2006. Kami melangsugkan pernikahan dengan sangat sederhana. Acara tersebut cuma dihadiri oleh orang tua kami beserta dua orang rekanan papa. Setelah akad nikah aku langsung mengantar ustadz sekalian shalat dzuhur. Betapa senangnya hatiku, akhirnya aku bisa merasakan cinta yang tulus karena Allah. Semoga kami bisa membentuk keluarga yang sakinah mawaddah, wa rahman dan senantiasa dalam ketaatan kepada Allah… itulah doaku saat itu.
Sepulang dari mengantar ustadz, perasaan bahagia itu seakan buyar mendapati Nina yang baru saja menjadi isteriku tergeletak di lantai, dari hidung dan mulutnya kembali berlumuran darah. Dan tangannya terlihat ada goresan.
Kami langsung membawanya ke rumah sakit, di perjalanan, kondisi Nina terlihat sangat lemah. Terdengar suara memanggilku dan berkata agar aku harus tetap di jalan yang diridhai-Nya sambil memegang erat tanganku karena kesakitan. Baru pertama kali ia memegang tanganku dengan tulus, air mataku tak tertahankan melihat keadaan Nina yang terus berdzikir sambil menangis… dia juga selalu menanyakan saudari-saudarinya di mana?
Setibanya di rumah sakit, aku bertanya-tanya kenapa tangan Nina tergores. Aku pun menulis SMS kepada saudari-saudari Nina. Ternyata, tangan Nina tergores ketika hendak menemui saudari-saudarinya dengan keluar dari kamar. Karena pintu kamar terkunci, Nina ingin keluar melalui jendela sehingga menyebabkan tangannya tergores.
Nina tak kunjung sadar hingga larut malam, aku pun tertidur dan tidak menyadari kalau Nina bangkit dari tempat tidurnya. Dia ingin sekali menemui saudari-saudarinya dan dia tidak menyadari kalu hari telah larut malam. Dia cuma berkata, “Pengen ketemu saudariku karena sudah tak ada waktu lagi.” Berhubung Nina masih lemah, dia pun jatuh pingsan setelah beberapa saat melangkah.
Aku benar-benar kaget dan bingung mau memanggil dokter tapi tidak ada yang menemani Nina. Akhirnya aku menghubungi salah saudarinya untuk menemani.
Setelah aku dan dokter tiba, Nina sudah tidak bernafas dan bergerak lagi. Pertahananku runtuh dan hancurlah harapanku melihat Nina tidak lagi berdaya…
Dokter menyuruh keluar. Pada saat itu kukira Nina telah tiada, makanya aku segera menulis SMS kepada saudari Nina untuk memberi tahu bahwa Nina telah tiada. Namun, begitu dokter keluar, masya Allah! Denyut jantung Nina kembali berdetak dan ia dinyatakan koma. Aku hendak memberi kabar kepada saudari Nina tapi baterai HP-ku habis dan tiba-tiba penyakitku pun kambuh lagi sehingga aku harus diinfus juga…
Jam 11.30, perasaanku mengatakan Nina memanggilku, maka aku segera bangkit dari tempat tidur dan melepas infuse dari tanganku menuju kamar Nina. Kutatap wajah Nina bersamaan dengan kumandang adzan shalat jum’at. Sembari menjawab adzan, aku terus menatap wajah Nina berharap dia akan membuka matanya.
Begitu lafadz laa ilaha illallah, suara mesin pendeteksi jantung berbunyi, menandakan bahwa Nina telah tiada. Aku berteriak memanggil dokter, tapi qadarullah isteriku sayang telah pergi untuk selama-lamanya dari dunia ini. Nina langsung dimandikan dan dishalatkan selepas shalat jum’at, lalu diterbangkan ke rumah papanya di Malaysia. Untuk terakhir kalinya kubuka kain putih yang menutupi wajah Nina. Wajahnya terlihat berseri…
Aku harus merelakan semua ini, aku harus kuat dan menerima takdir-Nya.
Teringat kata-kata Nina, “Berdoalah jika memang Allah memanggilku lebih awal dengan doa, ‘Ya Allah, berilah kesabaran dan pahala dari musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik.’.”
Setelah pemakaman, aku langsung balik ke Jakarta karena kondisiku yang kurang stabil… Astagfirullah!! Aku lupa memberitahu saudari-saudari Nina. Mungkin karena aku terlalu larut dalam kesedihan, hingga secara spontanitas aku menghubungi mereka dan menyampaikan bahwa Nina benar-benar telah tiada. Aku tahu pasti, mereka pasti sedih dengan kepergian saudari mereka yang mereka cintai kerena Allah. Dari 3 saudari Nina, ada seorang yang tidak percaya dan sepertinya dia sangat membenciku. Entah, mengapa sikapnya seperti itu?
Sekirannya mereka tahu, bahwa sebelum kepergiannya, Nina selalu memanggil nama mereka, tentulah mereka semakin sedih.
Dalam HP Nina terlihat banyak SMS yang menunjukkan betapa indahnya ukhuwah dengan saudari-saudarinya. Semoga saudari-saudari Nina memaafkan kesalahannya dan kesalahan diriku pribadi.
“Salam sayang dari Nina tu kakak Rini, Sakinah, dan Aisyah serta akhwat di Makassar. Teruslah berjuang menegakkan dakwah illallah. Syukran atas perhatian kalian…”
***
Tak berapa lama seetelah kisah ini dimuat di Media Muslim Muda Elfata, redaksi Elfata menerima SMS dari seorang ukhti, saudari Nina. Isi SMS tersebut adalah, “Afwan, mungkin perlu Elfata sampaikan kepada pembaca Elfata mengenai kisah ‘Akhirnya Cintaku Berlabuh Karena Allah’ dimana kak Nina telah meninggal dan kini kak Adhit pun telah tiada. Kurang lebih 2 pekan (kak Adhit-red) dirawat di rumah sakit karena penyakit pada paru-parunya. Sebelum sempat dioperasi,maut telah menjemputnya. Ana menyampaikan hal ini karena masih banyak yang mengirim salam memberi dukungan ke kak Adhit yang kubaca di Elfata dan beberapa orang yang kutemui di jalan juga selalu bertanya, kak Adhit bagaimana? Ana salah satu ukhti dalam cerita tersebut… syukran jiddan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo koment this...